Sejak ditetapkannya sarung batik menjadi budaya masyarakat Kota Pekalongan, produk ini semakin banyak diminati masyarakat, baik dalam maupun luar Kota Pekalongan. Mulai 2018, penjualan sarung batik semakin meningkat seiring perkembangan ragam dan motifnya. Namun, perlu upaya untuk semakin mengenalkan sarung batik, hingga ke dunia internasional.
Budayawan
Kota Pekalongan, Ahmad Marzuqi menilai, batik lokal bisa lebih maju dan dikenal
bahkan di kalangan internasional. Caranya, dengan mengintensifkan diskusi dan
pertemuan antara pemerintah daerah dengan pengusaha dan pemerhati batik,
membicarakan isu terkini tentang batik dan pasar potensialnya.
“Mungkin
suatu ketika Pemerintah Kota Pekalongan mengadakan pertemuan para pengusaha,
pemerhati batik, agar ke depannya sarung batik Pekalongan bisa lebih maju dan
sarung batik tidak hanya dipakai oleh kita, namun seluruh dunia memakai sarung
batik asal Kota Pekalongan,” kata Marzuqi di kediamannya belum lama ini.
Dia
menilai, sejauh ini perhatian pemerintah terhadap batik luar biasa. Sayangnya,
geliat bisnis sarung batik mengalami penyusutan. Yang dulunya biasa menggunakan
sarung, sekarang sudah berkurang. Terutama para anak muda yang kini hampir
melupakan sarung batik.
Marzuqi
membeberkan perjalanan sarung batik Kota Pekalongan. Bermula dari mubaligh
Yaman, yang mengenalkan sarung di Kota Pekalongan. Dulunya, para ulama ini
membawa sarung bercorak satu warna, yaitu kain putih yang diwarnai. Lambat
laun, perkembangan warna pada sarung terjadi.
“Warnanya
dipengaruhi oleh masing-masing daerah, antara lain sarung Donggala, sarung
Samarinda, sarung Bugis, sarung Batak, sarung Jepara, sarung Betawi, dan
lainnya,” terang pria yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota
Pekalongan ini.
Di
era Presiden Soekarno, lanjutnya, industri batik di Kota Pekalongan mendapat
angin segar. Saat itu batik menjadi semakin marak, bahkan ada catatan yang
mengatakan, batik bisa menyumbang negara sekitar Rp1,4 miliar.
Sekarang
ini, pengrajin batik Pekalongan memang gencar membuat sarung bermotif batik.
Dia menceritakan, pembuatan sarung batik kali pertama tidak selesai hanya satu
sampai dua hari, namun membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan bahkan sampai
bertahun-tahun. “Karena proses yang panjang dalam pembuatannya,” terangnya.
Kembali
Menggeliat
Memasuki
masa adaptasi kenormalan baru, penjualan sarung batik Kota Pekalongan kembali
menggeliat. Setelah sebelumnya saat awal pandemi, penjualannya menurun drastis.
Hal ini tampak di salah satu pusat batik yakni Pasar Grosir Setono. Geliat
perkembangan penjualan batik amat terasa penjualannya dibanding saat awal
terjadi Covid-19.
“Ketika
pandemi Corona sedikit agak menurun, karena para pengusaha sempat berhenti
produksi beberapa bulan. Tapi, sekarang dengan adanya adaptasi kebiasaan baru,
penjualan sarung batik Pekalongan mulai kembali normal bergeliat, banyak
pemesanan dan mengalami peningkatan penghasilan,” terang Wali Kota Pekalongan,
Saelany Machfudz, saat meninjau penjualan sarung batik di Pasar Grosir Setono,
belum lama ini.
Dalam
kunjungannya, Saelany berdialog dengan para pedagang sarung batik. Saelany juga
memaparkan saat ini bukan hanya para santri yang memakai sarung batik, tetapi
juga masyarakat umum, termasuk kalangan pemerintahan dan instansi. Pihaknya
juga mengimbau untuk menggencarkan lagi pemakaian sarung batik.
Subkhi,
Ketua Pengelola Pasar Grosir Setono, mengatakan sekarang penjualan sarung batik
Pekalongan, khususnya di Pasar Grosir Setono mulai marak. “Alhamdulillah saat
ini sudah kembali normal, berjalan kembali seperti biasa. Baik produksi dan
penjualan sarung batik,” kata Subkhi.
Konsumen
pembeli sarung, lanjutnya, sekitar 60 persen berasal dari luar kota. Ia
berharap agar situasi pandemi Covid-19 ini segera berakhir, sehingga penjualan
sarung dan batik dari para pengrajin dan pengusaha sarung batik bisa kembali
normal.
“Masyarakat
semoga semakin berminat memakai sarung batik serta penjualannya semakin
meningkat,” pungkasnya.